Dalam terbitan perdana
sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada
1928 dan bertahan sampai tahun 60-an, KH. Hasyim Asy’ari menuliskan
fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga
berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum
Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu
tidak ditemukan dalilnya.
Mbah
Hasyim, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang
ulama yang sangat menguasai ilmu hadits, karena itu sangat wajar apabila
beliau berpendapat seperti itu, karena memang tidak ditemukan dalil
sharih mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut.
Pendapat
tersebut disanggah oleh Kyai Faqih Maskumambang, Gresik, wakil beliau.
Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kyai Faqih
menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan. Alasan beliau adalah
kentongan diqiyaskan (disamakan) dengan beduk sebagai alat pemanggil
shalat. Jika bedug boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh
digunakan.
Segera
setelah uraian Kyai Faqih itu muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera
memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau untuk
berkumpul di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan
kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu,
beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat
pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu
hendaknya di masjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan
selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat
menghormati pendapat Kyai Faqih Maskumambang tersebut.
Dalam
bulan Maulid-Rabi’ul Awwal berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari diundang
untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari
sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua
ta’mir masjid dan surau yang ada di Kabupaten Gresik dengan membawa
pesan beliau: “Selama Kyai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten
tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat
bergantungnya alat itu.” Sikap ini diambil beliau karena penghormatan
beliau terhadap KH. Hasyim Asy’ari.
Setelah
selesai melaksanakan tugas, para santri itu pun menghadap kembali
kepada sang kyai. Salah satu santri maju ke hadapan Kyai Faqih dan
berkata dengan polosnya: “Maaf Kyai, amanat Kyai kepada kami untuk
menurunkan semua kentongan selama kedatangan Kyai Hasyim Asy’ari sudah
kami laksanakan.”
Sontak
saja KH. Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya kyai yang disinggung dalam
amanat beliau itu sudah duduk di hadapannya sedari tadi. Tiada lain
beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa
yang berada di hadapan kyai mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari.
Dengan
tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya:
“Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kyai Hasyim Asy’ari.”
Dalam
buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua halaman 256-257, KH.
Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengatakan: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak
berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap
tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tatakrama dalam
perbedaan pendapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu
sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.”
Sya’roni As-Samfuriy
DOC: Contoh Surat Pernyataan Ahli Waris untuk Klaim BPJS Ketenagakerjaan
5 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar