Subscribe:

Pages

Rabu, 29 Januari 2014

Mbah Arwani Teladani Kelembutan Akhlak Nabi

gambar
Grobogan, NU Online
Awal KH Arwani mendirikan pondok thariqah di Desa Kwanaran, Kudus, ada seseorang yang tak suka dengan kiai pakar Al-Qur’an tersebut. Suatu ketika, ketaksukaannya dilampiaskan  pada secaris kertas berisi hinaan yang ditempelkan di pondok tempat suluknya para santri.

Saat para santri mengetahui tulisan hinaan tersebut, bergegaslah mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Kiai Arwani dengan harapan ia memberi izin agar tulisan itu dicopot dan dirobek.

Para santri itu mendapat jawaban yang tak diharapkan. “Jarke wae tulisane, seng nulis ben seneng disik (biarkanlah dulu tulisan itu, supaya orang yang menulis tulisan tadi merasa senang),”

Tanggapan Kiai Arwani ditirukan Kiai Imron Hasani, Mustasyar Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Tawangharjo kepada NU Online, pada ngaji selapanan di Kompleks Ponpes Al-Hidayah, Grobogan, Jawa Tengah,(27/1).

Dalam taushiyahnya, Kiai Imron mengisahkan sosok Mbah Arwani yang meniru dan meneladani akhlak nabi Muhammad yang begitu lembut.

“Berbuat baik kepada orang yang telah berlaku baik kepada kita, itu wajar. Namun, bila kita bebuat baik dan berlemah lembut kepada orang yang telah berlaku jahat kepada kita, itu baru sebuah kemuliaan akhlak,” terangnya.

“Rasulullah terlalu sering dihina, dicaci maki bahkan dilempari kotoran hewan oleh orang kafir, namun rasulullah tetap bersikap lembut dan tidak mau membalasnya,” imbuhnya.

Para hadirin yang datang pada pengajian itu berasal dari berbagai desa di kecamatan Tawangharjo, diantaranya adalah Ngrukem, Gentan, dan Sirahan. Sebelum taushiyah, para peserta ngaji selapanan diajak terlebih dahulu menggemakan Maulid Ad-diba’i. 
(Kontributor : Asnawi Lathif/ Redaktur : Abdullah Alawi)

Minggu, 19 Januari 2014

Bersin Saat Shalat, Sunahkah Membaca hamdalah?

gambar
Banyak sekali amalan sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah. Salah satu diantara adalah membaca hamdalah saat bersin, hal ini dianjurkan melalui sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

اذا عطس احدكم فليقل " الحمد لله رب العالمين" وليقل له اخوه او صاحبه "يرحمك الله" فاذا قال له يرحمك الله فليقل "يهدكم الله ويصلح بالكم" (رواه ابو داود والناسئي)

“Apabila diantara kalian ada yang bersin maka hendaklah membaca alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah tuhan alam semesta) kemudian hendaklah saudaranya atau sahabatnya membalas doa dengan bacaan yarhamukallah (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu) dan ketika dibacakan yarhamukallah hendaknya bagi orang yang bersin membalas kembali dengan doa yahdikumullah wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki tingakh lakumu),”(HR. Abu Dawud dan Nasai).

Sabda nabi diatas tidaklah menyebutkan kapan disunnahkan saat membaca hamdalah tersebut,  apakah bersifat umum atau khusus? Apakah hanya khusus diluar shalat saja ataukah tidak?. Kalau diluar shalat, hal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Pasalnya, tidak dalam keadaan bermunajat atau saat berkomunikasi langsung dengan Allah. Yang perlu digali sumber hukumnya adalah saat dimana kita sedang berkomunikasi langsung dengan Allah melalui ibadah shalat.

Di dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Al-Masyhur ba’lawy halaman 45 diterangkan:

مسئلة ش) عطس في الصلاة سن له ان يحمد سرا ولو في اثناء الفاتحة لكنها تنقطع بذلك فيعيدها) 
                                            
Orang yang bersin pada saat melaksanakan shalat tetap disunnahkan baginya untuk membaca hamdalah, namun membacanya dengan cara sirri (suara pelan, tidak dengan suara keras) sekalipun disaat tengah membaca surat Al-fatihah. Namun, bacaan fatihah tersebut dianggap terputus sehingga diharuskan untuk mengulang kembali dari awal bacaan fatihah tersebut.

Setelah mengetahui hukum diatas, benak hati kita pun timbul pertanyaan baru, lalu bagaimana hukumnya orang yang mendoakan orang yang bersin pada saat dia melakukan shalat? Bolehkah?

Di dalam kitab Al-fiqh ‘Ala Madzhibil ‘Arba’ah Juz  1 halaman 275 menyinggung mengenai hal tersebut
ومن الكلام المبطل تشميت العاطس فاذا شمت المصلى عاطسا بحضرته بطلت صلاته بشرط ان يقول له " يرحمك الله " بكاف الخطاباما اذا قال له " يرحمه الله " او " يرحمنا الله " فان صلاته لا تبطل بذلك عندالشافعية والحنابلة اما المالكية و الحنفية بطلت صلاته
 
Sebagian diantara perkataan yang membatalkan shalat adalah mendoakan orang yang sedang bersin. Apabila orang yang sedang melaksakan shalat mendoakan kepada orang bersin yang ada dihadapannya maka shalatnya dianggap batal dengan ketentuan lafadz do’a yang dibaca adalah menggunakan bentuk mukhatab (bermakna kamu) yakni lafadz “yarhamukallah”. Namun apabila orang yang melaksanakan shalat tadi menggunakan lafadz “yarhamuhullah atau yarhamunallah” maka shalatnya tidak dianggap batal sesuai pendapat syafi’i dan hanbali, sedangkan menurut pendapat maliki dan hanafi maka shalatnya dianggap batal. (Asnawi Lathif)
 

Jumat, 17 Januari 2014

Wafatnya Ulama Bencana Bagi Alam Semesta

Dalam kitab Tanqih al-Qaul, al-Imam al-Hafidz Jalaluddin bin Abdurrahman bin Abubakar as-Suyuthi menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات
“Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik.”

Menangislah, karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah. Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah, jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama.

عن ابن عباس ، في قوله تعالى : أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا سورة الرعد آية 41 قال : موت علمائها . وللبيهقي من حديث معروف بن خربوذ ، عن أبي جعفر ، أنه قال : موت عالم أحب إلى إبليس من موت سبعين عابدا .
Ibnu Abbas Ra. berkata tentang firman Allah: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. ar-Ra’d ayat 41). Beliau mengatakan tentang (مِنْ أَطْرَافِهَا = dari tepi-tepinya) adalah wafatnya para ulama.”

Dan menurut Imam Baihaqi dari hadits Ma’ruf bin Kharbudz dari Abu Ja’far Ra. berkata: “Kematian ulama lebih dicintai Iblis daripada kematian 70 orang ahli Ibadah.”

Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah Swt. yang berbunyi:

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?” (QS. ar-Ra’d ayat 41).

Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas dan Mujahid, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dengan meninggalnya para ulama. (Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 472).

Rasulullah Saw. yang menegaskan ulama sebagai penerusnya, juga menegaskan wafatnya para ulama sebagai musibah. Rasulullah Saw. bersabda:

مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR. ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda).

Wafatnya Ulama Adalah Hilangnya Ilmu

Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu. Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.:

خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi.” Sahabat bertanya: “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Saw. menjawab: “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR. ad-Darimi, ath-Thabarani no. 7831 dari Abu Umamah).

Wafatnya ulama juga memiliki dampak sangat besar, diantaranya munculnya pemimpin baru yang tidak mengerti tentang agama sehinga dapat menyesatkan umat, sebagaimana dalam hadits sahih:

إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari hambaNya, tetapi mencabut ilmu dengan mencabut para ulama. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan satu ulama, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin bodoh, mereka ditanya kemudian memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari no. 100).

Kendatipun telah banyak kyai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya kyai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin

Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dari Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra.:

إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
“Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” (Ihya ‘Ulumiddin juz 1 halaman 15).

Wallahu a’lam bi ash-Shawab.

www.muslimedianews.com

Membaca Al-qur'an Untuk Mayit, Bid'ahkah?

Syaikh Hasan Jabar, beliau adalah guru besar, dosen tafsir dan ilmu Tafsir di Universitas al-Azhar serta pengajar di Masjid al-Azhar.

Syaikh Hasan Jabar pada kuliahnya di Masjid al-Azhar hari Ahad kemarin memberikan penjelasan yang ciamik perihal bacaan al-Quran yang dihadiahkan kepada mayyit. Berikut percakapan beliau dengan kami para muridnya.

Syaikh Hasan Jabar: “Semua orang mati itu dikatakan mayyit kan? Baik yang sudah dikubur maupun yang hendak dikubur?”

Kami: “Iya, Syaikh.”

Syaikh Hasan Jabar: “Bukankah Rasulullah Saw. melakukan shalat Jenazah?”

Kami: “Iya, Rasulullah Saw. melakukannya.”

Syaikh Hasan Jabar: “Takbir pertama saat shalat Jenazah, apa yang dibaca?”

Kami: “Surat al-Fatihah, Syaikh.”

Syaikh Hasan Jabar: “Surat al-Fatihah itu termasuk dari al-Quran tidak?”

Kami: “Termasuk dari al-Quran, Syaikh.”

Syaikh Hasan Jabar: “Lha iya, Rasulullah Saw. sendiri membacakan al-Quran kepada mayyit. Kok iya ada sebagian orang yang bangga mengatakan hal itu bid’ah dan sesat. Justru merekalah yang membid’ahkan dan menyesatkan Rasulullah Saw. Dan merekalah yang sejatinya melakukan bid’ah.”

Syaikh Hasan Jabar menambahkan: “Sebarkan dan sampaikan ini kepada orang lain agar umat kita bisa bersatu lagi dan selamat dari propaganda mereka.”

(Oleh: Gus Mas Yaqien, salah satu murid Syaikh Hasan Jabar yang waktu itu turut hadir mengikuti pengajian di Masjid al-Azhar).
Sumber : www.muslimedianews.com

Kamis, 16 Januari 2014

Seperti Syekh Zakaria, Embah Maemun Telurkan Banyak Penyebar Agama

Rembang, NU Online
Mustasyar PBNU KH Maemun Zubair sosok kiai karismatik yang bisa disejajarkan dengan Syekh Abu Zakaria Al-Anshori. Karena, Embah Maemun mendidik santri-santrinya yang kini menyebar di banyak lini dan daerah.

Demikian dikatakan seorang putra Embah Maemun KH Abdul Ghofur Maemun yang acap disapa Gus Ghofur yang mewakili keluarga dalam sambutan harlah ke-47 Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Kamis (9/1).

“Para santri didikan syekh Zakaria yang berjuluk Syaikhul masyayikh atau Syaikhul Islam tersebar di mana-mana,” terang Gus Ghofur.

Embah Mun guru kita itu mirip dengan Syekh Zakaria. Ke mana-mana dan di mana-mana ada alumni Al-Anwar, santri Sarang. Pada even bahtsul masail hampir didapati delegasi lulusan Al-Anwar. Mereka juga tersebar di pemerintahan, di madrasah-madrasah, terang Gus Ghofur.

Hal ini menjadi kebanggaan tersendiri karena memperbanyak umat yang menyerbarkan ilmu agama. Gus Ghofur menyebutkan hadits nabi, Tazawwajuu al-waluud al-waduud fainni mubahin bikumul umama yaumal qiyamah.

“Lewat hadits ini, saya tidak memerintahkan umat untuk nikah lagi tetapi lebih anjuran menelurkan banyak penyebar agama,” tandas Gus Ghofur.
(Penulis : Asnawi Lathif/ Redaktur:Alhafiz K)

Empat Ajakan Habib Syech di Bulan Maulid

gambar
Semarang, NU Online
Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf dalam perayaan Mauilid Nabi di Meteseh, Semarang, Jawa Tengah, Senin (13/1), menyampaikan empat poin penting yang hendaknya diperhatikan jamaah yang hadir.

Ia mengajak, pertama, ketika memanggil Nabi hendaknya tidak njangkar (langsung memanggil namanya). Panggillah Nabi dengan sapaan kehormatan sebagaimana para ulama contohkan, misalnya sayyidina, maulana, habibina, qurrati a’yun, syafi’ina dan sebagainya.

“Allah saja memanggil Nabi tidak njangkar, misalnya ya ayyuhal muddatstsir, ya ayyuhal muzzammil, ya ayuhan nabiyyu, dan lain sebagainya,” tutur Habib Syech.

Kedua, Habib asal Solo ini mengajak untuk memperbanyak shalawat karena di dalamnya terdapat keistimewaan. Menurut dia, shalawat mampu membuat jiwa menjadi tenang dan terjaga dari musibah dan marabahaya.

Ketiga, ia mengajak kepada jamaah untuk menjadi manusia yang bermanfaat, di antaranya berkecimpung dalam kemaslahatan masyarakat, semisal ikut gabung organisasi Nahdhatul Ulama, terangnya sembari membaca hadits populer khoirunnas anfa'uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya).

Keempat, Habib Syech juga berpesan supaya menjaga kesucian maulid dengan membersihkan diri dari perbuatan maksiat. Dia menyebut, berbuat maksiat sama saja dengan merobohkan benteng maulid.

“Banyak sekali yang bersemangat mengikuti maulid tapi shalat subuhnya telat, ini namanya merobohkan benteng. Jauh-jauh datang untung mengikuti maulid namun saat pulang gonceng-goncengan lanang wadon (boncengan laki-laki dan perempuan), ini namanya merusak benteng pertahanan,” pungkasnya. (Penulis : Asnawi Lathif/ Redaktur: Mahbib)

Embah Maemun Zubair Sebut 3 Model Penghafal Al-Qur'an

Rembang, NU Online
Para penghafal Al-Quran memiliki kecenderungan berbeda-beda. Mereka yang menghafal Al-Quran tidak selalu saleh. Mustasyar PBNU KH Maemun Zubair menyebutkan sedikitnya 2 jenis kecenderungan watak mereka di samping kecenderungan pertama.

Dalam acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan harlah ke-47 Pesantren Al-Anwar yang diselenggarakan Himpunan Mutakharijin Mutakharijat Al-Anwar (HIMMA), tiga kecenderungan penghafal Al-Qur’an menjadi bahasan ceramah Embah Maemun.

“Pertama, dzalimun li nafsih ialah penghafal Al-Qur’an namun dzalim (menganiaya) terhadap diri sendiri dengan tindakan maksiatnya. Kedua, Muqtashid ialah penghafal Al-qur’an dengan jumlah dan mutu amal ibadahnya sedang-sedang saja,” terang Embah Mun, Kamis (9/1).

Sedangkan yang ketiga, sabiqun bil khairat. Mereka ialah penghafal yang sukses mengkaji Al-Qur’an, mengamalkan, mengajarkan, dan membimbing orang lain untuk mengamalkan Al-Qur’an, sebut Embah Maemun di hadapan ribuan santrinya.

Kendati demikian, Allah menyediakan ganjaran surga ‘Adn yang berisi perhiasan berupa gelang-gelang emas dan mutiara. Mereka akan mengenakan pakaian sutra.

“Namun melalaikan hafalan qur’an adalah dosa besar” pesan Embah Maemun kepada para hadirin yang diikuti pembacaan surat Al-Fathir ayat 32-33.

Menurut Kiai Maemun, banyak sahabat Rasul yang tidak hafal 30 juz Al-Quran. Tetapi mereka menghafal al-Baqarah disertai pemahaman maknanya dengan penuh resapan. Sedangkan di zaman sekarang banyak orang menghafal 30 juz namun sedikit ayat bahkan mungkin tidak satupun ayat yang dipahami dan diresapi maknanya, pungkas Embah Maemun. (Asnawi Lathif/Alhafiz K)

Tata Krama dalam Perbedaan Pendapat; Kisah KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Faqih Maskumambang

Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nahdlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan sampai tahun 60-an, KH. Hasyim Asy’ari menuliskan fatwa bahwa penggunaan kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga berbunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat dalam hukum Islam. Dasar dari pendapat beliau itu adalah bahwa penggunaan alat itu tidak ditemukan dalilnya.

Mbah Hasyim, begitu beliau biasa disebut memang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat menguasai ilmu hadits, karena itu sangat wajar apabila beliau berpendapat seperti itu, karena memang tidak ditemukan dalil sharih mengenai kebolehan penggunaan alat tersebut.

Pendapat tersebut disanggah oleh Kyai Faqih Maskumambang, Gresik, wakil beliau. Dalam penerbitan bulan berikutnya jurnal tersebut, Kyai Faqih  menyatakan bahwa kentongan boleh digunakan. Alasan beliau adalah kentongan diqiyaskan (disamakan)  dengan beduk sebagai alat pemanggil shalat. Jika bedug boleh digunakan tentunya kentongan juga boleh digunakan.

Segera setelah uraian Kyai Faqih itu muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama se-Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Beliau lalu memerintahkan kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di masjid Tebu Ireng, Jombang kentongan itu tidak digunakan selama-lamanya. Pandangan beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendapat Kyai Faqih Maskumambang tersebut.

Dalam bulan Maulid-Rabi’ul Awwal berikutnya, KH. Hasyim Asy’ari diundang untuk memberikan ceramah di Pesantren Maskumambang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumambang menemui para ketua ta’mir masjid dan surau yang ada di Kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: “Selama Kyai M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten tersebut, semua kentongan yang ada harus diturunkan dari tempat bergantungnya alat itu.” Sikap ini diambil beliau karena penghormatan beliau terhadap KH. Hasyim Asy’ari.

Setelah selesai melaksanakan tugas, para santri itu pun menghadap kembali kepada sang kyai. Salah satu santri maju ke hadapan Kyai Faqih dan berkata dengan polosnya: “Maaf Kyai, amanat Kyai kepada kami untuk menurunkan semua kentongan selama kedatangan Kyai Hasyim Asy’ari sudah kami laksanakan.”

Sontak saja KH. Faqih menjadi sangat malu. Pasalnya kyai yang disinggung dalam amanat beliau itu sudah duduk di hadapannya sedari tadi. Tiada lain beliau adalah KH. Hasyim Asy’ari. Rupanya para santri tidak tahu bahwa yang berada di hadapan kyai mereka adalah KH. Hasyim Asy’ari.

Dengan tersenyum menyimpan malu, KH. Faqih pun berkata kepada para santrinya: “Ya sudah, sini kalian semua cium tangan Kyai Hasyim Asy’ari.”

Dalam buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita Semua halaman 256-257, KH. Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengatakan: “Meyakini sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi kedua tokoh tersebut. Begitulah tatakrama dalam perbedaan pendapat yang ditunjukkan oleh para pendahulu kita, suatu sikap yang harus diteladani dan dilestarikan.”

Sya’roni As-Samfuriy
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

komentar terbaru